Ingin Menjadi Kejawen Sejati?

Bagaimana Menjadi Seorang Kejawen Sejati?
Caranya; puasa lah mutih Senin Kamis, pada saat menjalani puasa tersebut tanyakan pada diri sendiri (dasar2 Olah Roso), apakah Anda suka membohongi diri Anda sendiri? Kalau jawabannya, Anda suka membohongi diri Anda sendiri, maka Anda bukan orang yang cocok untuk Menjadi Seorang Kejawen....
Kejawen adalah orang yang memeluk Agami Jawi. Jawi sendiri memiliki arti dan makna : Berbudi Luhur. Jadi Agami Jawi bukan Agamanya orang Jawa saja, melainkan Agamanya orang yang ingin Berbudi Luhur...

Agama Tidak Membuat Orang Jadi Baik

Tidak ada satu Agama pun di dunia, yang bisa membuat orang jadi baik. Yang ada; Orang baik dan mempunyai niat yang baik, menggunakan Agama apa pun, untuk tujuan kebaikan. Pasti dia akan jadi baik.
Jadi pilihlah Agama yang sesuai dengan Hati Nurani.

Minggu, 11 Juni 2006

Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak

oleh: Batara R. Hutagalung

Perang Paderi (Ada yang berpendapat kata ini berasal dari Pidari di Sumatera Barat, dan ada yang berpendapat kata Paderi berasal dari kata Padre, bahasa Portugis, yang artinya pendeta, dalam hal ini adalah ulama) di Sumatera Barat berawal dari pertentangan antara kaum adat dengan kaum ulama. Sebagaimana seluruh wilayah di Asia Tenggara lainnya, sebelum masuknya agama Islam, agama yang dianut masyarakat di Sumatera Barat juga agama Buddha dan Hindu. Sisa-sisa budaya Hindu yang masih ada misalnya sistem matrilineal (garis ibu), yang mirip dengan yang terdapat di India hingga sekarang.

Masuknya agama Islam ke Sumatera Utara dan Timur, juga awalnya dibawa oleh pedagang-pedagang dari Gujarat dan Cina. Setelah kembalinya beberapa tokoh Islam dari Mazhab Hambali yang ingin menerapkan alirannya di Sumatera Barat, timbul pertentangan antara kaum adat dan kaum ulama, yang bereskalasi kepada konflik bersenjata. Karena tidak kuat melawan kaum ulama (Paderi), kaum adat meminta bantuan Belanda, yang tentu disambut dengan gembira. Maka pecahlah Perang Paderi yang berlangsung dari tahun 1816 sampai 1833.

Selama berlangsungnya Perang Paderi, pasukan kaum Paderi bukan hanya berperang melawan kaum adat dan Belanda, melainkan juga menyerang Tanah Batak Selatan, Mandailing, tahun 1816 - 1820 dan kemudian mengIslamkan Tanah Batak selatan dengan kekerasan senjata, bahkan di beberapa tempat dengan tindakan yang sangat kejam.

Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen ke Tanah Batak, selain agama asli Batak yaitu Parmalim, seperti di hampir di seluruh Nusantara, agama yang berkembang di Sumatera Utara adalah agama Hindu dan Buddha. Sedangkan di Sumatera Barat pada abad 14 berkembang aliran Tantra Çaivite (Shaivite) Mahayana dari agama Buddha, dan hingga tahun 1581 Kerajaan Pagarruyung di Minangkabau masih beragama Hindu.

Agama Islam yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh penduduk setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari Bonjol. Seperti juga di Jawa Timur dan Banten rakyat setempat yang tidak mau masuk Islam, menyingkir ke utara dan bahkan akibat agresi kaum Paderi dari Bonjol, tak sedikit yang melarikan diri sampai Malaya.

Penyerbuan Islam ke Mandailing berawal dari dendam keturunan marga Siregar terhadap dinasti Singamangaraja dan seorang anak hasil incest (hubungan seksual dalam satu keluarga) dari keluarga Singamangaraja X.

Ketika bermukim di daerah Muara, di Danau Toba, Marga Siregar sering melakukan tindakan yang tidak disenangi oleh marga-marga lain, sehingga konflik bersenjatapun tidak dapat dihindari. Raja Oloan Sorba Dibanua, kakek moyang dari Dinasti Singamangaraja, memimpin penyerbuan terhadap pemukiman Marga Siregar di Muara. Setelah melihat kekuatan penyerbu yang jauh lebih besar, untuk menyelamatkan anak buah dan keluarganya, peminpin marga Siregar, Raja Porhas Siregar menantang Raja Oloan Sorba Dibanua untuk melakukan perang tanding -satu lawan satu- sesuai tradisi Batak. Menurut tradisi perang tanding Batak, rakyat yang pemimpinnya mati dalam pertarungan satu lawan satu tersebut, harus diperlakukan dengan hormat dan tidak dirampas harta bendanya serta dikawal menuju tempat yang mereka inginkan.

Dalam perang tanding itu, Raja Porhas Siregar kalah dan tewas di tangan Raja Oloan Sorba Dibanua. Anak buah Raja Porhas ternyata tidak diperlakukan seperti tradisi perang tanding, melainkan diburu oleh anak buah Raja Oloan sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke tebing-tebing yang tinggi di belakang Muara, meningggalkan keluarga dan harta benda. Mereka kemudian bermukim di dataran tinggi Humbang. Pemimpin Marga Siregar yang baru, Togar Natigor Siregar mengucapkan sumpah, yang diikuti oleh seluruh Marga Siregar yang mengikat untuk semua keturunan mereka, yaitu: Kembali ke Muara untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya.

Dendam ini baru terbalas setelah 26 generasi, tepatnya tahun 1819, ketika Jatengger Siregar –yang datang bersama pasukan Paderi, di bawah pimpinan Pongkinangolngolan (Tuanko Rao)- memenggal kepala Singamangaraja X, keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, dalam penyerbuan ke Bakkara, ibu kota Dinasti Singamangaraja.

Ibu dari Pongkinangolngolan adalah Gana Sinambela, putri dari Singamangaraja IX sedangkan ayahnya adalah Pangeran Gindoporang Sinambela adik dari Singamangaraja IX. Gindoporang dan Singamangaraja IX adalah putra-putra Singamangaraja VIII. Dengan demikian, Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap antara Putri Gana Sinambela dengan pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela.

Gana Sinambela sendiri adalah kakak dari Singamangaraja X. Walaupun terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi dan memanjakan keponakannya. Untuk memberikan nama marga, tidak mungkin diberikan marga Sinambela, karena ibunya bermarga Sinambela. Namun nama marga sangat penting bagi orang Batak, sehingga Singamangaraja X mencari jalan keluar untuk masalah ini.

Singamangaraja X mempunyai adik perempuan lain, Putri Sere Sinambela, yang menikah dengan Jongga Simorangkir, seorang hulubalang. Dalam suatu upacara adat, secara pro forma Pongkinangolngolan “dijual” kepada Jongga Simorangkir, dan Pongkinangolngolan kini bermarga Simorangkir.

Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh 3 orang Datuk (tokoh spiritual) yang dipimpin oleh Datuk Amantagor Manurung. Mereka meramalkan, bahwa Pongkinangolngolan suatu hari akan membunuh pamannya, Singamangaraja X. Oleh karena itu, Pongkinangolngolan harus dibunuh.

Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati atas keponakan yang disayanginya. Namun dia memutuskan, bahwa Pongkinangolngolan tidak dipancung kepalanya, melainkan akan ditenggelamkan di Danau Toba. Dia diikat pada sebatang kayu dan badannya dibebani dengan batu-batu supaya tenggelam.

Di tepi Danau Toba, Singamangaraja X pura-pura melakukan pemeriksaan terakhir, namun dengan menggunakan keris pusaka Gajah Dompak ia melonggarkan tali yang mengikat Pongkinangolngolan, sambil menyelipkan satu kantong kulit berisi mata uang perak ke balik pakaian Pongkinangolngolan. Perbuatan ini tidak diketahui oleh para Datuk, karena selain tertutup tubuhnya, juga tertutup tubuh Putri Gana Sinambela yang memeluk dan menangisi putra kesayangannya.

Tubuh Rao yang terikat kayu dibawa dengan rakit ke tengah Danau dan kemudian di buang ke air. Setelah berhasil melepaskan batu-batu dari tubuhnya, dengan berpegangan pada kayu, Rao berhasil mencapai sungai Asahan, di mana kemudian di dekat Narumonda, ia ditolong oleh seorang nelayan, Lintong Marpaung.

Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Rao memutuskan untuk pergi ke Minangkabau, karena selalu kuatir suatu hari akan dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak.

Di Minangkabau, ia mula-mula bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo sebagai perawat kuda. Pada waktu itu, tiga orang tokoh Islam Mazhab Hambali, yaitu Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik baru kembali dari Mekkah dan sedang melakukan penyebaran Mazhab Hambali di Minangkabau, yang menganut aliran Syi’ah.

Haji Piobang dan Haji Sumanik pernah menjadi pewira di pasukan kavaleri Janitsar Turki. Gerakan mereka mendapat dukungan dari Tuanku Nan Renceh, yang mempersiapkan tentara untuk melaksanakan gerakan Mazhab Hambali, termasuk rencana untuk mengislamkan Mandailing.

Tuanku Nan Renceh yang adalah seorang teman Datuk Bandaharo Ganggo, mendengar mengenai nasib dan silsilah dari Rao. Ia memperhitungkan, bahwa Rao yang adalah keponakan Singamangaraja X dan sebagai cucu di dalam garis laki-laki dari Singamangaraja VIII, tentu sangat baik untuk digunakan dalam rencana merebut dan mengIslamkan Tanah Batak. Oleh karena itu, ia meminta kawannya, Datuk Bandaharo agar menyerahkan Rao kepadanya untuk dididik olehnya.

Pada 9 Rabiu’ulawal 1219 H (tahun 1804 M), dengan syarat-syarat Khitanan dan Syahadat, Rao diislamkan dan diberi nama Umar Katab oleh Tuanku Nan Renceh. Nama tersebut diambil dari nama seorang Panglima Tentara Islam, Umar Chattab. Namun terselip juga asal usul Umar Katab, karena bila dibaca dari belakang, maka akan terbaca: Batak!

Penyebaran Mazhab Hambali dimulai tahun 1804 dengan pemusnahan keluarga Kerajaan Pagarruyung di Suroaso, yang menolak aliran baru tersebut. Hampir seluruh keluarga Raja Pagarruyung dipenggal kepalanya oleh pasukan yang dipimpin oleh Tuanku Lelo, yang nama asalnya adalah Idris Nasution.

Hanya beberapa orang saja yang dapat menyelamatkan diri, di antaranya adalah Yang Dipertuan Arifin Muning Alamsyah yang melarikan diri ke Kuantan dan kemudian meminta bantuan Belanda. Juga putrinya, Puan Gadis dapat menyelamatkan diri, dan pada tahun 1871 menceriterakan kisahnya kepada Willem Iskandar.

Umar Katab alias Pongkinangolngolan Sinambela kembali dari Mekkah dan Syria tahun 1815, di mana ia sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada pasukan kavaleri janitsar Turki. Oleh Tuanku Nan Renceh ia diangkat menjadi perwira tentara Paderi dan diberi gelar Tuanku Rao. Ternyata Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et impera seperti Belanda, yaitu menggunakan orang Batak untuk menyerang Tanah Batak.

Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadhan 1231 H (tahun 1816 M), dengan penyerbuan terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan oleh Marga Lubis. 5.000 orang dari pasukan berkuda ditambah 6.000 infanteri meluluhlantakkan benteng Muarasipongi, dan seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorangpun. Kekejaman ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukkan. Setelah itu, satu persatu wilayah Mandailing ditaklukkan oleh pasukan Paderi, yang dipimpin oleh Tuanku Rao dan Tuanku Lelo, yang adalah putra-putra Batak sendiri.

Selain kedua nama ini, ada sejumlah orang Batak yang telah masuk Islam, ikut pasukan Paderi menyerang Tanak Batak, yaitu Tuanku Tambusai (Harahap), Tuanku Sorik Marapin (Nasution), Tuanku Mandailing (Lubis), Tuanku Asahan (Mansur Marpaung), Tuanku Kotapinang (Alamsyah Dasopang), Tuanku Daulat (Harahap), Tuanku Patuan Soripada (Siregar), Tuanku Saman (Hutagalung), Tuanku Ali Sakti (Jatengger Siregar), Tuanku Junjungan (Tahir Daulay) dan Tuanku Marajo (Harahap).

Penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara, dilaksanakan tahun 1819. Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin oleh Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang, guna memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X.

Jatengger Siregar menantang Singamangaraja untuk melakukan perang tanding. Walaupun sudah berusia lanjut, namun Singamangaraja tak gentar dan menerima tantangan Jatengger Siregar yang masih muda. Duel dilakukan dengan menggunakan pedang di atas kuda.

Duel yang tak seimbang berlangsung tak lama. Singamangaraja kalah dan kepalanya dipenggal oleh pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah dendam yang tersimpan selama 26 generasi. Kepala Singamangaraja X ditusukkan ke ujung satu tombak dan ditancapkan ke tanah. Orang-orang marga Siregar masih belum puas dan menantang putra-putra Singamangaraja X untuk perang tanding. Sebelas putra-putra Singamangaraja memenuhi tantangan ini, dan hasilnya adalah 7 – 4 untuk kemenangan putra-putra Singamangaraja. Namun setelah itu, penyerbuan terhadap Benteng Bakkara terus dilanjutkan, dan sebagaimana di tempat-tempat lain, tak tersisa seorangpun dari penduduk Bakkara, termasuk semua perempuan yang juga tewas dalam pertempuran.

Penyerbuan pasukan Paderi terhenti tahun 1820, karena berjangkitnya penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara Paderi yang memasuki Tanah Batak tahun 1818, hanya tersisa sekitar 30.000 orang dua tahun kemudian. Sebagian terbesar bukan tewas di medan petempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit.

Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, tahun 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengIslaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Namun Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak, untuk menghadang masuknya tentara Belanda.

Ketika keadaan bertambah parah, akhirnya Tuanku Rao melakukan pembangkangan terhadap perintah Tuanku Imam Bonjol, dan memerintahkan sisa pasukannya keluar dari Tanah Batak Utara dan kembali ke Selatan.

Enam dari panglima pasukan Paderi asal Batak, yaitu Tuanku Mandailing, Tuanku Asahan, Tuanku Kotapinang, Tuanku Daulat, Tuanku Ali Sakti dan Tuanku Junjungan, tahun 1820 memberontak terhadap penindasan asing dari Bonjol/Minangkabau dan menanggalkan gelar Tuanku yang dipandang sebagai gelar Minangkabau. Bahkan Jatengger Siregar hanya menyandang gelar tersebut selama tiga hari. Mereka sangat marah atas perilaku pasukan Paderi yang merampok dan menguras Tanah Batak yang telah ditaklukkan. Namun hanya karena ingin balas dendam kepada Singamangaraja, Jatengger Siregar menahan diri sampai terlaksananya sumpah Togar Natigor Siregar dan ia behasil membunuh Singamangaraja X.

Mansur Marpaung (Tuanku Asahan) dan Alamsyah Dasopang (Tuanku Kotapinang) dengan tegas menyatakan tidak mau tunduk lagi kepada Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Nan Renceh, dan kemudian mendirikan kesultanan/kerajaan sendiri. Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan dan mengangkat dirinya menjadi sultan, sedangkan Dasopang mendirikan Kerajaan Kotapinang, dan ia menjadi raja. Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air bangis pada 5 September 1821, sedangkan Tuanku Lelo (Idris Nasution) tewas dipenggal kepalanya dan kemudian tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang dijadikan selirnya.

Catatan:

Tulisan ini merupakan cuplikan dari buku yang ditulis oleh Mangaradja Onggang Parlindungan Siregar, “Pongkinangolngolan Sinambela gelar Pongkinangolngolan, Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak”, Penerbit Tanjung Pengharapan, Jakarta, 1964.

Tuanku Lelo/Idris Nasution adalah kakek buyut dari Mangaraja Onggang Parlindungan ( hlm. 358). Dari ayahnya, Sutan Martua Raja Siregar, seorang guru sejarah, M.O. Parlindungan memperoleh warisan sejumlah catatan tangan yang merupakan hasil penelitian dari Willem Iskandar, Guru Batak, Sutan Martua Raja dan Residen Poortman. Sebenarnya ia hanya bermaksud menulis buku untuk putra-putranya. Buku tersebut memuat banyak rahasia keluarga, termasuk kebiadaban yang dilakukan oleh Tuanku Lelo tersebut.

Mayjen TNI (purn.) T.Bonar Simatupang menilai, bahwa tulisan tersebut banyak mengandung sejarah Batak, yang perlu diketahui oleh generasi muda Batak. Parlindungan Siregar setuju untuk menerbitkan karyanya untu1f4b a), sesuatu yg bisa dicapai rakyat maupun Raja. Keduanya tiba2 menjadi sederajad. Tidak lagi ada hirarki kraton. Pihak Sufi juga mengajarkan bahwa LOGIKA/nalar adalah universal, dan oleh karena itu semua Muslim sama rendah/tinggi dihadapan Tuhan. Spt yg dinyatakan Al-Attas : Dlm interpretasi Islamnya Sufi, ‘esensi manusia adalah bahwa ia rasional dan rasionalitas adalah hubungan antara dirinya dan realitas.’ Konsep2 persamaan derajad spiritual ini memberi orang awam rasa harga diri persamaan sederajad dgn kaum ningrat.’

Pukulan Islam paling radikal terhadap era pra-Islam ini adalah

demitologisasi dunia Melayu secara bertahap. Ini dampak Islam yg paling mengubah pandangan Indo-Melayu. Ismail Hamid mengatakan ‘Islam mengakhiri sistim kasta Hindu’ dan ‘sbg gantinya, Islam menerapkan konsep ‘demokrasi’’ (??) yg didasarkan pada persamaan derajad semua Muslim (!) didepan Tuhan. Jadi lewat tasawuf (metafisika rasional) Sufi dan Ulama, elemen2 indah budaya Indo-Melayu terkikis.

Pada akhirnya, para pakar Muslim, Sufi, penyair dan sejarawan berhasil MENYUSUN KEMBALI DAN MENCIPTAKAN KEMBALI cara berpikir bangsa Melayu sedemikian rupa shg bahkan elemen2 esoterik KERISpun tidak selamat dari serangan2 para revisionis ini.

Akibat Islam dan perubahan dlm masyarakat Muslim-Melayu, pembuatan keris menjadi hal yg umum, dan akhirnya dibawa keluar dari perbatasan istana. Hamzuri menulis bahwa dari periode Mataram (antara abad 15-17), produksi keris menjadi bisnis masal. Pada saat era Jogya-Solo (setelah Perjanjian Giyanti th 1755), ‘produksi keris menjadi universal, dan tidak lagi monopoli empu istana. Timbul empu2 dan tukang2 pandai besi yg meninggalkan Jawa dan pindah ke Sumatera dan jazirah Melayu karena memburuknya keadaan politik dan sosial di Jawa.

Pada abad 16-17, pembuatan keris tersebar diseluruh dunia Melayu dng pusat2 produksi spt Patani, Kelantan, Aceh, Melaka, Minangkabau, Palembang, Bantam, Demak, Jogjakarta, Surakarta, Bali, Makassar, Goa, Banjarmasin, Mindanao dan kepulauan Sulu.

Akibatnya, timbullah kelompok2 dan kelas2 sosial baru; tuan tanah, pedagang dan Muslim2 kelas buruh. Proses ini juga mengakibatkan kurangnya penghargaan bagi keris karena semakin mudah terjangkau oleh kelompok2 sosial baru ini. Keris dipopulerisasi dan di-vulgarisasi. (Yang sangat membuat geram kelas2 ningrat tradisional).

Belum lagi kedatangan kaum Ferenggi (Kristen) dgn maksud dagang ke wilayah Indo-Melayu, yg oleh Islam dianggap sbg musuh bebuyutan. Kini diperlukan senjata yg lebih efisien dan bukan sekedar pajangan.

Dari lambang sakral dan obyek mewah yg berstatus, keris menjadi senjata yg bisa dipakai utk membunuh. Terjadilah modifikasi terhadap bentuk keris, spt keris2 yg lebih panjang (Keris Sundang-nya kaum Moro dari Flipina Selatan dan Keris Bahari dari Sumatra).

Bagian hulu (bagian kayu) juga menghadapi evolusi. Muslim2 tulen keberatan atas pelambangan dewa2 Hindu dlm wayang dan hulu2 keris. Dan mereka mengubahnya dari ukiran2 dewa menjadi ukiran mahluk2 berburuk rupa’.

Garuda yg tadinya menjadi tumpangan dewa Wisnu, diturunkan statusnya menjadi pekaka. Bentuk2 ukiran para bunga dan geometris yg akhirnya semakin mengIslamkan kepulauan Melayu ini dlm abad2 mendatang.

Di daerah2 spt Patani (Thailand) dan Kelantan ( Malaysia) dimana penampakan Wisnu-Garuda terlalu kuat, sosok Garuda dimodifikasi

Sumber: http://agamakejawen.blogspot.com/search/label/Sejarah%20Indonesia
Read More..

Senin, 05 Juni 2006

Mengapa Kejawen Tidak Mempunyai Rasul

Dalam pemahaman Kedjawen, kita semua ini UtusanNya. Jadi kita tidak memerlukan Rasul atau Perantara, untuk dapat berinteraksi dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Inti dari Kejawen adalah Manunggaling Kawulo Ghusti. Karena dengan Manunggaling Kawulo Ghusti, kita mengerti arti kebenaran yang sesungguhnya dan seutuhnya.

Seorang Kejawen memiliki hubungan yang khusus kepada sang Pencipta, tidak perlu memakai Perantara untuk mencapainya.

Oleh karenanya, untuk menjadi seorang Kejawen Sejati, kita memerlukan usaha yang ekstra untuk memahaminya, melalui Olah Roso. Tetapi, ketika kita sudah mendapatkan pola interaksi yang sakral tersebut, semuanya akan lebih mudah, dibanding dengan ritual semua agama yang ada di dunia ini.

Read More..

Sabtu, 03 Juni 2006

Sejarah Bukan Dongeng

Sejarah bukanlah sebuah dongeng, banyak Agama yang berkisah berdasarkan Dogma, dan akhirnya menuntut ke-Iman-nan seseorang. Hal ini dikarenakan, sulit untuk membuktikannya, atau mungkin memang tidak ada buktinya.

Seorang Kejawen harus selalu bertanya secara logika, agama yang dianutnya (Agami Jawi), sehingga ia tidak merasa atau mengalami pembodohan.

Dengan adanya sejarah yang benar, dimana selalu ada waktu dan tempat kejadiannya, Seorang Kejawen tidak memiliki ke-Iman-nan yang dipaksakan oleh Dogma

Karena menjadi Seorang Kejawen, kita selalu dituntut kejujuran, maka ke-Iman-an adalah sebuah ketidak jujuran kepada diri sendiri. Hal ini dikarenakan, adanya percaya yang dipaksakan.
Read More..

Evolusi bagi seorang Kejawen

Bicara mengenai evolusi bagi orang yang beragama, dapat dilihat dari Tiga Kubu, yakni :

Kubu Pertama (Yang diyakini oleh Agama-agama Rasul)
Dalam Dogma dan Ke-Imanan beberapa agama mengkisahkan awal mulanya kehidupan manusia adalah dikarenakan adanya kutukan terhadap Adam dan Hawa, yang artinya mereka turun ke bumi, sudah berbentuk atau dengan wujud manusia seutuhnya, seperti manusia sekarang ini.

Kubu Kedua (Yang ditentang oleh Agama-agama Rasul)
Dalam pemahaman Generatio Spontanea, bahwa evolusi dimulai dari munculnya kehidupan secara kebetulan, yang lalu berevolusi menjadi manusia seutuhnya. Atau faham teori tersebut, berkeyakinan bahwa awalnya mahluk hidup, muncul dari benda mati, dan berkembang terus. Hingga penyempurnaannya melalui evolusi.

Kubu Ketiga (Yang diyakini oleh Agami Jawi)
Dalam logika Seorang Kejawen, bahwa Tuhan Yang Maha Esa memberikan Kehidupan Awal Yang Hakiki, selanjutnya mereka Berevolusi. Logika inilah yang diyakini oleh Seorang Kejawen. Sehingga kami tidak memerlukan Dogma dan Ke-Iman-an, karena semuanya logis adanya.

Setelah pemberian nyawa atau kehidupan yang merupakan hak absolut Tuhan Yang Maha Esa, untuk memberikan kehidupan. Dari sinilah, atau pemahaman inilah yang diyakini oleh seorang Kejawen sebagai awal permulaan terbentuknya Mahluk Hidup, dan kemudian terbentuklah Manusia Purba, hingga ber-evolusi menjadi Manusia Seutuhnya, seperti sekarang ini.

Hal yang menguatkan Logika Berfikir Seorang Kejawen, adalah;
Kita lupa bahwa Bapak Teori Evolusi adalah Charles Darwin, dimana dalam bukunya "The Origin of Species" yang diterbitkan tahun 1859, sesungguhnya ia pun mengakui bahwa kehidupan, "pada mulanya dihembuskan oleh sang Pencipta ke dalam satu atau beberapa bentuk."

Selanjutnya seorang Kejawen melakoni Olah Roso, hingga akhinya seorang Kejawen dapat menemukan atau awalnya hanya merasakan adanya Tuhan Yang Maha Esa.
Read More..